Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Thursday, June 27, 2019

Otak Udang dan Aparat Ecek-ecek

KELINDAN isu Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu belum mereda. Gegaranya: alih-alih mengakui ada yang bengkok dan sumir dari proses pambangunannya (bahkan bukan hanya Instalasi Radilogi, tapi hampir seluruh fasilitas yang berdiri di RS ini), pihak-pihak yang paling bertanggungjawab justru sibuk memutar lidah dan menyoal urusan sesepele ihwal kata ‘’segel’’.

Walikota KK dan jajarannya—juga para penjilat di sekitar—, termasuk Kadis Kominfo yang juga Plt Kadis Kesehatan, bersikukuh bahwa stiker yang dipasang BAPETEN di Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu bukanlah ‘’segel’’, melainkan ‘’peringatan’’ (dengan gaya Walikota menggunakan bahasa Inggris, ‘’warning’’). Terkini, Rabu, 26 Juni 2019, sejumlah situs berita di BMR ramai-ramai mempublikasi pernyataan Kabag Komunikasi Publik dan Protokol BAPETEN, Abdul Qohhar, yang ringkasnya—kurang-lebih—bahwa pihaknya bukanlah PPNS yang berhak melakukan penyegelan.

Di unggahan-unggahan yang nyaris seragam (salah satu contoh di https://totabuan.news/2019/06/bapeten-akui-tak-punya-hak-menyegel-gedung-radiologi-rsud-kotamobagu/) ada kutipan langsung, ‘’Tetapi, saat kami datang lagi dan kedapatan ada aktivitas (penekanan dari saya: di gedung atau fasilitas yang di’’stiker’’ merah BAPETEN), kami akan bawa ini ke penegak hukum.’’

Baiklah. Mari kita bermain bahasa dan logika. KBBI mendefinisikan kata ‘’segel’’ sebagai ‘’tera, cap, materai’’. Sedang ‘’menyegel’’ diartikan sebagai ‘’menutup rumah (bangunan, barang, dan sebagainya) yang disita dengan menempelkan segel pada pintu dan sebagainya.’’

Yang ditempel BAPETEN di pintu Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu adalah apa yang oleh Kabag Komunikasi Publik dan Protokol BAPETEN (dan dikutip situs-situs berita) disebut sebagai ‘’stiker’’ berwarna merah dengan sisi kiri bertulis ‘’Tidak memiliki Izin dari BAPETEN’’; tengah atas ‘’Melanggar Pasal 20 UU No. 10 Tahun 1997’’, tengah bawah ‘’Dilarang Memanfaatkan’’; dan sisi kanan ‘’Direktorat Inspeksi  Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif’’. Dengan logika yang sekarang dibingkai media-media yang (bukan rahasia lagi) menerima bayaran rutin dari Pemkot KK, artinya warna merah stiker BAPETEN itu bukanlah cap dengan pembatasan yang jelas (Dilarang Memanfaatkan)?

Saya tidak tahu dari sekolah mana dan kamus bahasa apa yang digunakan para pejabat dan jurnalis yang menyiarkan apa yang ditempelkan BAPETEN bukanlah segel. Yang saya tahu, saya paham bahasa Indonesia dan logikanya. Sama dengan saya memahami bahwa papan larangan meneruskan pembangunan ditempelkan oleh Satpol PP di rumah yang belum memiliki IMB adalah penyegelan.

Siapa yang melanggar segel itu (stiker BAPETEN atau papan larangan Satpol PP), sanksi memang akhirnya menjadi ranah penegakan hukum. Ranahnya polisi, kejaksaan, dan pengadilan. Tapi bukankah memang demikian aturan di negeri ini? 

Dalam bahasa Inggris ada kata yang mungkin lebih tepat mendefinisikan stiker yang dipasang BAPETEN, yakni tag (tanda/label). Di industri-industri yang melihatkan mesin dan aneka peralatan teknis, istilah ini umum digunakan sebagai identifikasi bukan hanya pada benda, peralatan, atau bangunan; tetapi juga untuk orang. Tag merah artinya ‘’tidak boleh’’, tag kuning maksudnya ''dalam pengawasan'' dan tag hijau bermakna ‘’boleh’’.

Kembali pada ‘’segel’’, memahami kata yang terang-menderang dalam kamus saja jajaran di Pemkot KK tergagap-gagap, tentu tak masalah saya menyatakan gerombolan itu berotak udang. Mereka toh tidak paham arti ‘’otak udang’’. Kepalanya hanya diisi secuil otak berdempet sebongkah kotoran. Sebab otak udang biasanya hanya bertempat di kepala udang—yang tidak dilindungi hak asasi manusia dan hak-hak manusia lain--, bukan pelanggaran perdata dan pidana pula kalau saya mencaci udang. Mana ada udang yang bisa mengadu ke polisi atau memberi kuasa hukum ke pengacara?

Di dunia perudangan, galib belaka terjadi jepit-menjepit, tekan-menekan, dan paksa-memaksa. Dengan pemahaman seperti itu, walau berat hati, saya memaafkan saja udang kecil seperti Kadis Infokom yang juga Plt Kadis Kesehatan. Otak udang kecil tentu kotorannya juga kecil. Sebaliknya, udang ukurannya besar, volume kotorannya juga besar. Dan udang terbesar di KK, yang punya kuasa jepit-menjepit, tekan-menekan, dan paksa-memaksa, tentu adalah yang menduduki puncak jabatan birokrasi dan politik.

Namun, apa yang diharapkan dari mesin layanan publik yang dikendalikan para otak udang? Berita RSUD Bantah Ada Kerusakan Alat Limbah (Harian Radar Bolmong, Rabu, 26 Juni 2019) adalah contoh respons yang mau tak mau membuat saya berdecak. Di unggahan saya sebelumnya, ‘’So Bogo-bogo, Papandusta Lei’’, saya menyinggung (dengan diawali ‘’misalnya’’) fasilitas pemusnah limbah medis yang kini mangkrak. Fasilitas yang saya maksud adalah insinerator (tungku pembakaran), yang kemudian dibantah Humas RSUD Kotamobagu dan disebut hanyalah isu ecek-ecek.

Mudah-mudahan penyebutan isu ecek-ecek itu cuma versi hiperbola dari pewarta yang menulis beritanya untuk menarik perhatian pembaca. Kalau insinerator adalah isu ecek-ecek, lalu bagaimana dengan laboratorium tanpa meja beton, gudang obat yang dikelilingi jendela kaca (dokter dan ahli farmasi tahu persis haram hukumnya gudang obat terpapar sinar matahari langsung), atau fasilitas pemulasaran jenazah yang dikerjakan asal-asalan?

Sejatinya, dalam soal insinerator, sungguh saya berharap RSUD Kotamobagu khususnya dan Pemkot KK umumnya, sebaiknya mengecek dengan saksama fasilitas ini. 

Limbah medis umumnya dikategorikan sebagai B3; dan salah satu cara mengelola jenis limbah ini adalah memusnahkan dengan insinerator yang pengoperasiannya disyarati dengan kriteria sangat ketat (kurang-lebih sama dengan Instalasi Radiologi). Selain dicakup dalam UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (yang ancaman pidana dan dendanya cukup menggetarkan nyali), sejumlah PP dan turunannya menegaskan gawatnya urusan insinerator ini. 

Benarkah isunya ecek-ecek belaka? Kita uji dengan pertanyaan sederhana: Apakah cerobong insinerator RSUD Kotamobagu berdiri lebih tinggi dari Tower A dan B? Kalau jawabannya (yang dengan mata telanjang bisa dilihat oleh siapapun dari kejauhan) adalah ‘’tidak’’, Humas (yang saya maafkan juga karena hanya menjalankan tugas dan fungsinya), tentu mahfum dan tahu persis rangkaian sebab-akibat yang bakal mengikutinya.

Tidak perlu saya menyoal isi perut insinerator yang hanya segelintir orang teknis yang paham detil-detilnya. Tapi kalau meja beton laboratorium saja dirampok, pelapis timbal dinding Instalasi Radiologi dijarah, syak insinerator semata cuma tungku dan cerobong, adalah keniscayaan.

Maka, alih-alih isu ecek-ecek, jika digali lebih dalam (sebagaimana kalau kita mengaduk satu-persatu udang busuk di balik seluruh proyek infrastruktur dan pendukung RSUD Kotamobagu), saya meyakini urusan fasilitas pemusnah limbah (insinerator) itu justru menunjukkan dengan tepat otak-otak macam apa dan jenis aparat yang bagaimana yang paling bertanggungjawab terhadap layanan dasar kemaslahatan orang banyak di KK: udang dan ecek-ecek belaka. Sama pandir dan cemeng-nya dengan seorang ASN yang mengunggah sindiran ‘’Ternyata yg Bogo Bogo deng Papandusta itu TUA’’’ di akun facebook-nya, Rabu malam, 26 Juni 2016.

Saya, yang memang mempublikasi tuduhan bogo-bogo dan papandusta di blog ini, sama sekali tidak tersinggung dengan sindirin itu. Sindir-menyindir cuma untuk para pengecut yang IQ-nya pas-pasan.

Malah, dengan penuh penasaran, saya ingin tahu siapa sesungguhnya yang disindir ASN berakun Tatank Raditya, yang sepengetahuan saya tak lain pegawai di Diskominfo KK dan sehari-harinya lebih banyak menyopiri adik kandung Walikota ketimbang berkantor sebagaimana Tupoksinya? Pun, apakah kini salah-satu fungsi utama pegawai Diskominfo kelas ecek-ecek seperti dia adalah jadi pelayan keluarga Walikota sembari main sindir-sindiran di facebook

Mengingat saya memang sedang amat marah dan kepingin memuntahkan banyak skandal di KK, dengan tulisan ini saya ingin menantang: Walikota dan jajarannya berkeinginan menyelesaikan masalah di KK, khususnya berbagai hal bengkok di RSUD Kotamobagu, atau mau buka-bukaan borok dan aib? Jika pilihannya adalah borok dan aib, saya berjanji akan merespons dengan saksama dan dalam tempo secepat-cepatnya.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

ASN: Aparatur Sipil Negara; B3: Bahan Berbahaya dan Beracun; BAPETEN: Badan Pegawas Tenaga Nuklir; BMR: Bolaang Mongondow Raya; Humas: Hubungan Masyarakat; IMB: Izin Mendirikan Bangunan; IQ: Intelligence Quotient; Kabag: Kepala Bagian; Kadis: Kepala Dinas; KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia; KK: Kota Kotamobagu; Kominfo: Komunikasi dan Informasi; Pemkot: Pemerintah Kota; Plt: Pelaksana Tugas; PP: Peraturan Pemerintah; PPNS: Penyidik Pegawai Negeri Sipil; RS: Rumah Sakit; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; Satpol PP: Satuan Polisi Pamong Praja; Tupoksi: Tugas Pokok dan Fungsi; dan UU: Undang-undang.

Monday, June 24, 2019

‘’So Bogo-bogo, Papandusta Lei’’

SELASA, 8 Januari 2019, Walikota KK meninjau pembangunan berbagai fasilitas di RSUD Kotamobagu. Dalam kunjungan yang (antaranya) didampingi Kadis Kesehatan dan Direktur RSUD, Walikota menyampaikan bahwa diperkirakan berbagai fasilitas yang tengah dibangun ini akan diresmikan pada Maret atau April 2019.

Jejak digital (kecanggihan dunia maya memang kejam) kunjungan Walikota itu, salah satunya, dapat ditemukan ditautan https://kotamobaguonline.com/berita-utama/wali-kota-tatong-bara-tinjau-fasilitas-rsud-kotamobagu/. Fasilitas yang disebut di dalam unggahan situs berita ini antaranya adalah Instalasi Radiologi—yang kini jadi sorotan karena disegel merah oleh BAPETEN.

Penyegelan Instalasi Radiologi yang dibangun dengan dana miliaran (sebagian peralatan berharga puluhan miliar sudah terpasang), memang membetot perhatian. Yang langsung bereaksi adalah DPRD KK yang bergegas mengunjungi dan memeriksa tak hanya Instalasi Radiologi, tetapi juga hampir keseluruhan fasilitas yang kini berdiri di RSUD Kotamobagu. Foto-foto kunjungan DPRD ini saya terima—dari seorang karib—bahkan saat mereka masih berada di kompleks RSUD Kotamobagu.

Kendati begitu, saya yakin, DPRD meluputkan bagian lain yang biasanya tersembunyi—atau sengaja disembunyikan. Misalnya, fasilitas pemusnahan limbah medis yang kini mangkrak dan menyebabkan menumpuknya sampah berbahaya ini di kompleks RSUD Kotamobagu. Atau, fasilitas pemulasaran jenazah yang dikerjakan asal-asalan dan lebih mirip ruangan di warung kopi.

Tapi saya tidak ingin kehilangan fokus. Instalasi Radiologi yang pasti tidak akan mendapat izin penggunaannya dari BAPETEN, cukup menjadi contoh bobroknya pembangunan fasilitas yang ‘’kata Walikota’’ (seharusnya) sudah diresmikan Maret atau April 2019 lalu. Kebobrokan ini, lucunya, mati-matian berusaha ditutup-tutupi, termasuk dan terutama oleh Walikota KK.

Adalah wawancara para wartawan yang direkam beberapa menit setelah rehat Rapat Paripurna Tahap I Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD KK 2018 yang berlangsung di Gedung DPRD KK, Senin, 24 Juni 2019, yang membuat saya bersyak memang ada bual besar di balik kisah Instalasi Radiologi itu. Rekaman yang saya terima beberapa menit selang peristiwanya berlangsung, membuat saya terbahak. Menakjubkan betul mendengar ada Walikota yang masih berusaha mengibuli publik dengan omong kosong menggelikan, padahal fakta yang ingin dipelintirin sudah seterang siang terik. Atau, rupanya Walikota dan jajarannya memang tidak tahu menggunakan google.

Menjawab pertanyaan wartawan, menurut dia, ‘’RSUD (yang dimaksudkan adalah Instalasi Radiologi) bukanlah disegel, tapi belum dimanfaatkan. Semua unsur, alatnya saja, belum lengkap.’’ Lalu, meracaulah Walikota KK yang mulia dengan menyebut-nyebut SOP, risiko, radiasi, komponen, dan bahkan penambahan anggaran agar fasilitas yang disegel itu akhirnya bisa dimanfaatkan.

Begini, ya, Ibu Walikota, Anda boleh mencoba menipu seluruh warga KK yang terkagum-kagum dengan mulut manis pencitraan; tapi tolong jangan menghina akal sehat dan pengetahuan (sekalipun terbatas) beberapa di antara kami yang masih mudah memahami hal-hal yang bukan rocket science. Kasarnya: ‘’Kalu situ yang bogo-bogo, jang pangge samua orang jadi biongo. Kong brenti jo badusta dengan silat lidah.’’

Pembangunan fasilitas/instalasi radiologi (tidak hanya di RS) sudah diatur hampir sangat detil melalui Kepmenkes No. 1014/MENKES/SK/XI/2008 Tentang Standar Pelayanan Radiologi Diagnostik di Sarana Pelayanan Kesehatan. Seberapa detail? Lengkap dan menyeluruh, mulai dari ukuran ruangan dalam cm, mm, termasuk penempatan alat, hingga proporsi lobang angin. Kepmenkes ini diperkuat lagi dengan pedoman dari BAPETEN (situsnya sangat mudah dikunjungi) yang dilengkapi gambar-gambar, denah, serta formulir check yang amat sangat mudah dipahami oleh awam sekalipun.

Pernyataan Walikota KK bahwa segel merah yang dipasang BAPETEN di Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu hanya karena beberapa fasilitas belum terpenuhi, jelas tipu-tipu besar. Yang benar, segel itu dipasang karena bangunan Instalasi Radiologi sama sekali tidak sesuai dengan spesifikasi (standar) yang sudah diatur dalam Kepmenkes dan Panduan BAPETEN. Itu sebabnya aturan yang digunakan adalah Pasal 20 UU No. 10 Tahun 1997 Tentang Ketenaganukliran. 

Akan halnya peralatan dan fasilitas lain, sama sekali belum disentuh dan diuji oleh BAPETEN. Maka memang urusan yang berkelindan ini jauh kaitannya dengan fasilitas yang belum lengkap.

Tegasnya: gedung Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu (yang memakan dana Rp 3,3 miliar) ini memang sengaja dibangun dengan mengabaikan standar yang sudah baku. Apakah bisa diperbaiki? Secara teknis tidak masalah, tapi dengan biaya yang (diperkirakan) nilainya kurang-lebih setara bangunan baru (Rp 2,5- 3 miliar—dengan catatan seluruh duitnya digunakan untuk pembangunan) tetapi artinya duit negara disedot dua kali untuk satu barang yang sama. Aparat KPK yang baru bangun tidur pun dapat dengan mudah menyimpulkan, ada kerugian negara minimal senilai bangunan yang saat ini harusnya diruntuhkan. Kerugian itu adalah korupsi!

Tentang standar, Walikota KK juga perlu membuka buku pengetahuan dasar, bahwa ada beda antara standar dan SOPYang satu berkaitan dengan norma atau persyaratan yang biasanya berupa dokumen formal yang menciptakan kriteria, metode, proses, dan praktik rekayasa teknis yang seragam; sedang yang lain (SOP) adalah dokumen berkaitan dengan dengan prosedur yang dilakukan secara kronologis untuk menyelesaikan suatu pekerjaan yang bertujuan memperoleh hasil paling efektif.

Omong-kosong SOP yang disampaikan Walikota di hadapan para jurnalis yang meminta komentarnya, menunjukkan bahwa kalau bukan dia tidak tahu apa-apa, maka dia cuma sok tahu apa-apa. Yang mulia Walikota, yang tidak terpenuhi dalam kasus Instalasi Radiologi adalah standar. Bukan SOP.

Bila di unggahan sebelumnya (‘’Papancuri’’ di RSUD Kotamobagu) saya menuliskan ‘’dugaan tindak pidana korupsi’’ di RSUD Kotamobagu; maka kali ini saya tidak ragu menyatakan: korupsi tampaknya memang diniatkan dilakukan secara berjenjang di dalam pembangunan fasilitas kesehatan ini. Jika DPRD KK menyetujui rencana Kepala RSUD Kotamobagu menganggarkan lagi Rp 2,5 miliar demi membereskan gedung Instalasi Radiologi, yang telah di-aminkan dengan takzim oleh Walikota, mereka sama dengan meloloskan Tipikor di depan mata.

Hingga di sini, saya terus-terang heran bila DPRD KK menerima Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD KK 2018 yang saat ini tengah dibahas, mengingat fasilitas yang saat centang-perenang di RSUD Kotamobagu dibiayai dari alokasi dana 2018. Kecuali, tentu saja, seluruh anggota dewan yang terhormat sudah menerima amplop bagian dari hasil jarahan Instalasi Radiologi itu atau mereka memang mudah jadi bogo-bogo disirep kulit in bibig politik.

Akan halnya polisi dan kejaksaan yang belum kedengaran geliatnya, saya tidak heran. Lebih bahagia mengharapkan mereka sigap menangkap maling ayam atau tukang bakuku di leput daripada menguak kasus Tipikor, sekalipun dengan modus sepele seperti sangkarut Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu yang sebenarnya sudah boleh dikategorikan sebagai skandal.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
APBD: Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; BAPETEN: Badan Pengawas Tenaga Nuklir; cm: Centimeter; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; Kadis: Kepala Dinas; Kepmenkes: Keputusan Menteri Kesehatan; KK: Kota Kotamobagu; KPK: Komisi Pemberantasan Korupsi; Menkes: Menteri Kesehatan; mm: Milimeter; Ranperda: Rancangan Peraturan Daerah; RS: Rumah Sakit; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; SOP: Standard Operating Procedure; Tipikor: Tindak Pidana Korupsi; dan UU: Undang-undang.

Sunday, June 23, 2019

‘’Papancuri’’ di RSUD Kotamobagu

UNGGAHAN totabuan.co, Sabtu, 22 Juni 2019, Badan Pengawas Tenaga Nuklir Segel Gedung Radiologi RSU Kotamobagu, saya baca di antara perjalanan (panjang) kembali ke Jakarta. Saya sama sekali tidak terkejut.

Ketidakberesan di RSUD Kotamobagu—yang digadang-gadang jadi RS Rujukan di BMR—, sesungguhnya sudah jadi rahasia umum. Penyengelan Instalasi Radiologi (yang baru selesai dibangun) hanya puncak gunung es pencurian (untuk tidak buru-buru menyimpulkan korupsi) kelas kakap yang patut diduga dilakukan secara berjenjang dan terencana.

Datanglah ke RSUD Kotamobagu, keliling dan lihat. Kasat mata fasilitas yang dibangun dengan nilai se-ho oh dan dibangga-banggakan oleh Walikota KK dan jajarannya ini, dikerjakan asal-asalan. Kelas kuaci. Bahkan orang picek pun tahu, yang berani bilang RS ini adalah fasilitas berkualitas yang bakal menjadi salah satu jangkar visi ‘’Kota Jasa’’, kalau bukan anggota komplotan maling (yang telah habis-habisan menjarah dana pembangunannya), maka saya haqul yakin dia pasti dungunya minta ampun.

Menara A dan B, yang menjadi pusat perawatan pasien (artinya pula adalah jantung RS), belum lama diresmikan tapi sudah berontokan. Saya tidak tahu apakah Walikota dan jajarannya pernah benar-benar masuk-keluar Menara A dan B, lengkap diiringi barisan hula hop yang biasa menempel bagai lintah dengan aneka rupa layanan dan mazmur puja-puji, sekadar melihat-lihat dan mengecek. Melaksanakan tugas paling sepelenya sebagai pimpinan birokrasi dan politik di KK. 

Saya paham, Walikota dan jajarannya yang amat-sangat beriman hampir setiap pekan sibuk ibadah (pengajian-lah, dzikir bersama-lah), tapi masak sihtidak punya keluangan satu-dua jam menelisik fasilitas vital itu? Bukankah tugas mereka adalah mengurusi kemaslahatan masyarakat; dan karenanya mesti memperbanyak pengetahuan masalah orang banyak hingga ke detil-detilnya.

Tanpa bermaksud menjadi penghujat, apalagi menghina keberimanan, kewajiban dan tanggung jawab itu tidak bakal tertunaikan hanya dengan pengajian dan dzikir. Terlebih keimanan bukanlah show, melainkan apa yang diimplementasikan. Barangkali, sekali lagi saya perlu menyarankan, Walikota dan jajarannya agar membaca kisah yang ditulis sastrawan A.A. Navis, Robohnya Surau Kami (1956).

Pembaca, warga KK tidak perlu punya gelar sarjana untuk memahami bahwa ‘’Kota Jasa’’ berarti meletakkan hajat-hidup orang banyak pada industri layanan. KK dengan keterbatasan luas wilayah di satu sisi dan (untuk sementara) menjadi titik pusat BMR), mau atau tidak, memang mesti mengandalkan masa depannya pada jasa: kesehatan, pendidikan, pariwisata, dan bahkan pengolahan (mengingat produksi sumber daya alam di sekitarnya, pertanian sebagai contoh, cukup melimpah). 

Apa yang terjadi dengan RSUD Kotamobagu hari ini adalah bukti betapa bertolak belakangnya visi Pemkot KK dan fakta. Katanya mau membangun, eh, yang terjadi malah ramai-ramai jadi penjarah.

Dan memang, optimisme apa yang bisa dibangkitkan dari Menara A dan B RSUD Kotamobagu, yang—untuk menyebut beberapa—cacatnya mulai dari hal-hal paling mendasar. Kualitas konstruksinya lebih buruk dari pos kamling: saluran air mampet, keran bocor, langit-langit berjatuhan, keramik dinding somplak, AC yang malah jadi heater, termasuk pula jalur pasien yang alih-alih menjadi wilayah aman justru bisa berubah jadi jalan pintas menuju kematian.

Kebanggaan apa yang dapat dituai dari Gedung ICU, Laboratorium, dan Gudang Obat, yang ternyata tak dapat dioperasikan karena pembangunannya melawan seluruh spesifikasi teknis yang semestinya? Saya tidak tahu problem belum dioperasikannya Gedung ICU; tapi Laboratorium RS Kotamobagu yang dibangun tanpa meja beton (untuk peletakkan peralatan), jelas lelucon slapstick menyebalkan; demikian pula Gudang Obat yang dikelilingi jendela kaca.

Sarjana teknik tolol siapa yang merencanakan fasilitas itu? Makhluk idiot mana yang menyetujui? Dan kontraktor pandir mana dan pengawas tak punya otak siapa yang melaksanakan pekerjaan teknisnya? Apa masih kurang gerombolan cheer leader berlatar pendidikan teknik sipil yang ada di sekitar Walikota? Jika begitu adanya, rekrutlah staf khusus berlatar teknik sipil, alih-alih bakul nasi-bakul nasi yang kerjanya cuma meninabobokan Walikota.

2017 hingga awal 2018 lalu saya sempat turut memimpin pembangunan Puskesmas Rawat Inap berstandar tinggi (salah satu yang kini terbaik di Indonesia). sebelumnya, beberapa tahun lampau, saya juga ikut memimpin pembangunan RS Tipe C berstandar internasional. Dari pengalaman ini, saya tahu persis: dalam soal pembangunan fasilitas kesehatan, aturan di negeri ini sudah lebih dari lengkap. Mulai dari spesifikasi bangunan, infrastruktur, hingga detil-detil yang mutlak ada dan harus dipenuhi (entah itu RS, Puskesmas, klinik, bahkan Posyandu).

Jadi, kalau sampai hampir seluruh aspek dasar di RSUD Kotamobagu berantakan tidak karuan, simpulan paling sederhananya: ada korupsi dalam pembangunannya. Ada papancuri yang harus diseret untuk bertanggung jawab. Seorang investigator pemula saja tahu persis: mengingat perencanaan dan pembangunannya dilakukan secara berjenjang oleh struktur administrasi dan birokrasi, tidak penting penyelidikannya dimulai dari kepala atau ekor, muaranya akan tiba pada ular-ular mana yang bermain dan siapa naga di baliknya.

Katakanlah penelisikan dimulai dari Kabag Ekbang Pemkot KK yang mulut pesingnya dikutip Harian Radar Bolmong(Gedung Radiologi RSUD ‘’Disegel’’, Sabtu, 22 Juni 2019). Saya kagum dengan pernyataannya, bahwa stiker yang dipasang BAPETEN hanya peringatan. Eh, nickel head, stiker berwarna merah untuk fasilitas radiologi hanya berarti satu: stop! Barang ini tidak bisa digunakan! Bongkar dan ganti.

Saat ini beberapa peralatan (bernilai milyaran) telah dipasang di Instalasi Radiologi RSUD Kotamobagu, padahal tanpa dinding timbal, pintu baja, dan pendingin khusus. Ini berarti dua hal: diperlukan (lagi) dana untuk pembangunan gedung instalasi yang benar dan biaya siaga perawatan dan perbaikan peralatan (terpasang) yang memang rentan rusak jika tidak ditempatkan di ruangan yang menjadi peruntukannya. 

Ini pejabat ditemukan dari mana, ya? Bisa-bisanya Pemkot KK yang katanya menerapkan reward and punishment mendudukkan pejabat yang bodohnya melampaui kerbau? Yang bicara seolah-olah saat ini google masih hal mewah hingga tidak banyak yang bisa meng-googling untuk mengecek omongan sampahnya.

Paralel dengan Kabag Ekbang, penyelidikan dilakukan pula untuk Kepala RSUD Kotamobagu. Bila dia dokter profesional yang tahu tugas dan tanggung jawabnya, urusannya kian mudah. Pertanyaan yang diajukan cukup dua: (1) Siapa yang memerintahkan pembangunan Instalasi Radilogi (dan beberapa fasilitas kacangan di RSUD Kotamobagu yang tidak bisa digunakan itu) dilanjutkan kendati menyalahi semua spesifikasi yang sudah diatur ketat; dan (2) Berapa banyak sorokan yang dia kantongi untuk menutup mata dari serangkaian penyelewengan yang lalu-lalang di depan hidungnya?

Lagipula, betapa enaknya dia dengan gampang menyatakan, sebagaimana dikutip totabuan.co, ‘’Kami akan berupaya untuk menganggarkan (kekurangan di gedung Instalasi Radiologi) dalam APBD.’’ Satu penyelewengan ditutupi dengan penyelewenangan lain? Anda yang tidak becus kokAPBD yang harus menanggung? 

Apakah dengan dua alinea di atas saya menduga mereka korupsi? Ya! Kalau keberatan, buktikan sebaliknya. UU Tipikor mengenal pembuktian terbalik untuk mereka yang diduga atau disangka melakukan tindak korupsi. 

Tidak usah heran jika penyelidikan terhadap dua pejabat berwenang dan bertanggung jawab itu akan berujung ke Walikota KK dan bahkan pejabat di level lebih tinggi. Sudah menjadi common sense hampir semua kasus Tipikor selalu melibatkan rangkaian kekuasan (administrasi, birokrasi, atau politik) berjenjang. 

Saya justru akan benar-benar takjub kalau pejabat di atas mereka, bahkan Walikota KK, berlagak atau malah mengaku tidak tahu sangkarut di RSUD Kotamobagu ini.*** 

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:
AC: Air Conditioner; APBD: Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah; BAPETEN: Badan Pengawas Tenaga Nuklir; BMR: Bolaang Mongondow Raya; ICU: Intensive Care Unit; Ekbang: Ekonomi dan Pembangunan; Kabag: Kepala Bagian; KK: Kota Kotamobagu; Pemkot: Pemerintah Kota; Posyandu: Pos Pelayanan Terpadu; Puskesmas: Pusat Kesehatan Masyarakat; RS: Rumah Sakit; RSU: Rumah Sakit Umum; RSUD: Rumah Sakit Umum Daerah; dan Tipikor: Tindak Pidana Korupsi.