Palas

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Balai Pustaka, 2005, mencantumkan: kro.nik n catatan peristiwa menurut urutan waktu kejadiannya; susunan waktu; yang berhubungan dengan waktu. Sedang Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI), Balai Pustaka, 2006, menjelaskan: kronik E cerita yang meriwayatkan suatu peristiwa tersusun menurut waktu terjadinya.

Foto-Foto: Internet

Wednesday, August 2, 2017

Mengapa Conch Bisa Seenaknya ‘’Udelnya’’ di Indonesia?

POLDA Sulut ‘’konon’’ telah menetapkan Bupati Bolmong, Yasti Soepredjo Mokoagow, sebagai tersangka pengerusakan bangunan milik PT Conch North Sulawesi Cement di Desa Solog, Lolak. Kabar yang masih ‘’konon’’ ini—sebab hingga tulisan ini diunggah, saya mendapat informasi valid, baik Yasti, kuasa hukum, maupun Pemkab Bolmong belum menerima dokumennya—memicu reaksi warga Mongondow, termasuk demo ribuan orang yang memacetkan trans Sulawesi, Senin, 31 Juli 2017.

Isu yang melibatkan Bupati/Pemkab Bolmong-PT Conch Nort Sulawesi Cement-PT Sulenco Bohusami Cement (yang ‘’katanya’’ mengandeng Conch menanamkan investasinya di Bolmong), kini memang menjadi perhatian publik hingga skala nasional. Kecuali Polda Sulut yang sudah menetapkan 27 anggota Satpol PP Pemkab Bolmong sebagai tersangka peristiwa penertiban di areal pembangunan pabrik semen PT Conch, Senin, 5 Juni 2017, orang banyak (termasuk anggota DPR RI dan para pakar) umumnya berpihak pada Bupati Yasti.

Merunut kronologi aksi Bupati Bolmong dan jajarannya, yang antara lain telah dibeber lengkap dan dapat diunduh dari situs www.rilis.id, Kupas Tuntas ‘’Kisruh’’ Pemkab Bolmong dengan PT Conch (http://www.rilis.id/kupas-tuntas-kisruh-pemkab-bolmong-dengan-pt-conch.html), landasan tindakan penertiban—oleh Polda Sulut dinyatakan sebagai pengerusakan—itu sangat kuat dan absah. Bagaimana Pemda Bolmong, khususnya Bupati sebagai otoritas pemerintahan tertinggi, membiarkan sekelompok orang dari korporasi asing yang bertingkah seenak jidat dan udel-nya sendiri dengan menerabas hukum, perundangan-undangan, dan turunannya?

Tak perlu diperdebatkan bahwa pembangunan pabrik semen oleh PT Conch di Desa Solog nyatanya tak dilengkapi legalitas yang mutlak dimiliki setiap entitas bisnis dalam menjalankan usahanya di Indonesia. Izin prinsip PMA yang mereka kantongi bukanlah tiket emas yang meniadakan izin-izin lain sebelum PT Conch berhak mulai mendirikan pabriknya. Demikian pula, PT Sulenco yang mengaku memiliki hak WIUP dan IUP (Eksplorasi dan Operasi Produksi) cebakan kapur (yang menjadi bahan baku utama semen) di Solog, ternyata putar bale belaka.

Dengan informasi yang sudah dibeber dan terbeber, termasuk yang terakhir keramaian dugaan suap-menyuap ke kalangan birokrasi dan DPRD Bolmong (sebelum era Bupati Yasti), hingga PT Conch—dan PT Sulenco—bebas melenggang, yang dipicu (antaranya) pemberitaan totabuan.co, Senin, 31 Juli 2017, Data Delapan LSM, Diduga Mantan Bupati Bolmong Terima Suap dari PT Sulenco
 (http://totabuan.co/2017/07/data-delapan-lsm-diduga-mantan-bupati-bolmong-terima-suap-dari-pt-sulenco/), semestinya menyadarkan publik bahwa ada yang sejak mula sudah bengkok dalam isu pabrik semen di Solog itu. Apalagi bila ditelisik lebih jauh, masuknya Anhui Conch Cement Company Ltd ke Indonesia seluruhnya diwarnai kisruh dan gunjang-ganjing.

Di Kabupaten Serang, Provinsi Banten, ulah PT Conch mirip dengan apa yang mereka lakukan di Desa Solog, Kabupaten Bolmong. Mulai dari izin yang tak karuan hingga tenaga kerja asing yang tak jelas statusnya (tenaga kerja yang menyaru jadi turis, profesional dengan dokumen legal lengkap, atau apa?). Publikasi bantenraya.com, Jumat, 23 Oktober 2015, Komisi IV Minta PT Conch Ditutup (http://bantenraya.com/banten-raya/serang/15270-komisi-iv-minta-pt-conch-ditutup-), bisa menjadi salah satu refensi bagaimana brengseknya praktek bisnis perusahaan ini.

Kasus yang sama terjadi di Kabupaten Tabalong, Kalsel. Di daerah ini, pabrik yang dioperasikan perusahaan asal Provinsi Anhui, Cina, ini dikesankan lebih tertutup dibanding markas tentara atau fasilitas militer rahasia. Bahkan tentara pun tak mudah mengakses pabrik semen perusahaan ini, sebagaimana yang ditulis jawapos.com, Kamis, 15 Desember 2016,  PT Conch South Kalimantan Sangat Tertutup, Tentara Saja Sulit Masuk

Tidak jauh dari Bolmong, tepatnya di Desa Seppe’e, Kecamatan Barru (sekitar 110 km utara kota Makassar), Sulsel, PT Conch juga berulah dengan membangun pabrik semen tanpa dilengkapi izin. Mereka juga tak peduli dan tetap melanjutkan aktivitasnya kendati dipersoalkan banyak pihak, termasuk DPR RI dan bahkan MUI Sulsel. Bebal dan kebalnya PT Conch di Sulsel itu antara lain dipaparkan dengan cukup lengkap oleh tribunnews.com, Rabu, 5 April 2017, Perusahaan Semen China di Barru PT Conch Akui Tak Punya Izin, 'Beraninya Mereka Buka Pabrik Semen' (http://makassar.tribunnews.com/2017/04/05/perusahaan-semen-china-di-barru-pt-conch-akui-tak-punya-izin-beraninya-mereka-buka-pabrik-semen).

Rekam jejak Conch yang buruk di Indonesia kian lengkap karena di Distrik Momiwaren, Kabupaten Manokwari Selatan, Provinsi Papua Barat, perusahaan ini bahkan terlibat konflik tanah dengan masyarakat setempat. Situs awasmifee.potager.org, Selasa, 25 April 2017, Kepentingan Korporasi Dibalik Alih Fungsi Hutan (https://awasmifee.potager.org/?p=1522&lang=id) , mencatat konflik ini berkelindang dengan persoalan lingkungan dan bahkan perburuhan.

Merunut isu-isu yang mengiringi masukanya Conch di beberapa daerah di Indonesia itu, yang tampaknya mirip satu dengan yang lain, semestinya telah memberi pelajaran penting bagi pihak-pihak yang terlibat dan berkepentingan. Dan pihak yang utama, tentu saja, adalah Anhui Conch Cement dan pemerintah serta masyarakat Indonesia. Sayangnya, pelajaran penting itu tampaknya: Bagi Conch, ternyata di Indonesia menerabas aturan boleh saja. Cukup dengan izin prinsip, langsung bangun pabrik dan beroperasi. Toh pada akhirnya pemerintah dan masyarakat Indonesia, yang butuh investor dan investasi, tidak bakal menghentikan ‘’gerbong dan lokomotif’’ yang sudah berderak. Akan halnya pemerintah dan masyarakat Indonesia, apa boleh buat, menyerah dan berkompromi dengan alasan investor dan investasi mustahak bagi pembangunan dan ekonomi.

Soal harga diri negara dan bangsa, yang terang-terangan diinjak seenak jidat dan udel, tampaknya mesti ditelan sekalipun pahit dan pedih.

Pertanyaannya: apakah hanya karena pentingnya investor dan investasi lalu pemerintah dan seluruh elemen bangsa di negeri ini sukarela bersujud? Takluk tanpa daya? Jika demikian, mengapa belakangan ini pemerintah dan bangsa Indonesia bisa menunjukkan keperkasaan dan ketegasan tatkala berhadapan dengan—misalnya—PT FI atau PT NNT?

Apa yang membedakan Conch dan dua raksasa tambang itu? Mengapa Bupati yang menegakkan aturan terhadap Conch, sekalipun barangkali dengan agak ceroboh dan emosional, dengan mudah menjadi tersangka; sementara kepala daerah lain yang bersikap lebih tegas, keras, dan dingin terhadap perusahaan (tambang) lain justru dianggap membela kepentingan negara dan bangsa?

Jangan-jangan, sekadar syak dan wasangka yang memantik pertanyaan (syukurlah belum ada tindak pidana untuk pikiran dan pertanyaan): Apakah karena backing Conch amat sangat perkasa hingga mereka bebas merajalela di negeri ini? Backing yang kelasnya setengah dewa itu, tentu bukan orang atau kelompok sembarangan. Yang mengerikannya pasti membuat jerih dan lunglai.***

Singkatan dan Istilah yang Digunakan:

Bolmong: Bolaang Mongondow; DPR: Dewan Perwakilan Rakyat; DPRD: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; FI: Freeport Indonesia; Kalsel: Kalimantan Selatan; IUP: Izin Usaha Pertambangan; LSM: Lembaga Swadaya Masyarakat; Ltd: Limited; NNT: Newmont Nusa Tenggara; Pemda: Pemerintah Daerah; Pemkab: Pemerintah Kabupaten; PMA: Penanaman Modal Asing; Polda: Kepolisian Daerah; PP: Pamong Praja; PT: Perseroan Terbatas; RI: Republik Indonesia; Satpol: Satuan Polisi; Sulsel: Sulawesi Selatan; Sulut: Sulawesi Utara; dan WIUP: Wilayah Izin Usaha Pertambangan.